Gambar : Ilustrasi |
SURAT LAMPIRAN SANTRI
Oleh : Nazli Alzira Syahbillah
Pak, Bu, pada lampiran ini, akan ada cerita
tentang apa yang kami alami. Sebelumnya, banyak yang ingin kami ungkapkan.
Namun, tak hasil yang keluar adalah ucapan terimakasih yang mendalam. Sebab
untuk mengutarakan segala hal, pastilah air mata yang pergi mewakili perasaan.
Pak, Bu ... pada hari dimana kaki kami berada
pada sebuah bangunan asing. Bangunan yang belum pernah kami singgahi sebelum
itu. Kaki kami akan memasuki pintu gerbang dengan segala hal yang jauh berbeda dari gubuk kecil milik
kita. Air mata kami pecah ketika melihat kendaran yang kalian gunakan untuk mengantar kami sudah jauh dari jangkauan mata. Banyak ujian untuk kami tempuh sendirian. Tapi kami
yakin, doamu tak pernah luntur terlebih sangat terjamin saat dilangitkan.
Pak, Bu … Keseharian di sini sangat jauh
berbeda dari sebelumnya. Kami harus bangun lebih pagi guna mengantri mandi dan
lain sebagainya. Makan seadanya. Kami harus beradaptasi dengan banyak hal.
Semua peraturan harus kami patuhi. Bahkan, saat kami pulang nanti, tak banyak
teman dekat seperti dulu. Kami seperti manusia asing. Canggung! Tapi tak apa sebagai gantinya, kami mendapat banyak saudara dari berbagai macam
suku dan daerahnya.
Pak, Bu … banyak keunikan lain yang kami temui
saat bersama. Saat tak ada uang dan kiriman belum datang, kami malah rela
mengeluarkan uang sekecil apapun yang kami miliki. Seribu, dua ribu, lima
ratus, dua ribu lima ratus. Semua yang ada, kami keluarkan, meski harus
mencungkil tabungan. Jika rasa lapar datang, sayur sudah habis tertelan, kami
hanya makan nasi dengan lauk kerupuk seadanya. Bukan lagi piring, kami lebih
bahagia saat makan menggunakan nampan besar. Tak apa, tak usah khawatir Pak,
Bu. Ini sangat nikmat bagi kami. Terlebih saat kiriman datang nanti.
Pak, Bu … di sini, kami diajarkan untuk tumbuh
lebih dewasa dan mandiri. Kami harus bisa mengatur waktu. Ini sangat sulit
rasanya. Tak banyak santai. Tidur kami pun ada yang sampai malam. Jatuhnya,
kami tidak sengaja tidur saat pelajaran di dalam kelas sudah dimulai.
Satu bulan tinggal di sini, lidah kami masih terasa
sangat kelu untuk melafadzkan huruf hijaiyyah, kami harus lebih sadar diri.
Mengulas dari permulaan. Tak boleh protes! Ini sebagian dari proses. Banyak yang
membantu kami belajar melafadzkan setiap huruf di depan mata. Bentakan? Pasti ada.
Tapi itu bukan bentakan marah dari para guru. Melainkan tegas dalam sebuah
pendidikan.
Hati kami tentram saat mendengar bacaan ayat
suci al-Quran dengan huruf hijaiyyah yang fasih saat dilafadzkan. Dari sinilah,
tumbuh dorongan serta niat di hati kami tuk beri perubahan.
Pak, Bu ... doakan kami, semoga Allah mudahkan segala urusan. Tak apa jika rindu harus ditahan. Karena doa masih bisa dihadiahkan. Semoga kita selalu dalam lingkup keberkahan. (NAS)
Nulisnya pakai pakai hati, jadi sampai dihati.
ReplyDeleteSubhanallah , Alhamdulillah, doa kami selalu menyertai mu ,smoga kau anaku menjadi anak yg Sholeha ahli ibadah,sebagai penyelamat kami kelak di akherat,ya Allah berilah kemudahan keberkahan anaku dalam menuntut ilmu agama,di pondok pesantren yg terbaik yg engkau pilih untuk anak kami mudahakan lah anaku untuk ber adab tasi di sana, ya Allah berilah anaku pemahaman yg baik sehingga mudah untuk mempelajari ilmu ilmu yg di berikan oleh para ustad dan ustadzah nya ,Aamiin ya Allah ya robbal A'almiin..
Deletesemoga mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah
ReplyDeletesemoga kebaikan selalu menyertai ananda sekalian
sukses dunia akhirat